Senin, 27 Desember 2010

Syarat-syarat nikah Mut'ah

SYARAT-SYARAT DALAM NIKAH MUTÁH

I. Adanya Ijab Qabul dengan menggunakan dua kata yang dapat menunjukan atau menimbulkan pengertian yang dimaksud dan rela dengan pernikahan mut’ah dengan cara yang dimengerti kedua belah pihak. Dengan demikian, maka tidak sah dengan hanya sekedar adanya perasaan rela dalam hati dari kedua belah pihak (suami dan isteri) atau dengan saling memberi (sesuatu) sebagaimana yang berlaku pada kebanyakan akad (transaksi) atau dengan tulisan ataupun pula dengan isyarat (kecuali) bagi orang yang bisu.

II. Mengerti dengan yang dimaksudkan dari kata-kata:
• Aku mut’ahkan (Matta’tu)
• Aku nikahkan (Ankahtu)
• Aku kawinkan ( Zawwajtu)

Dengan demikian, maka tidak sah hanya dengan sekedar menggerakan lidah mengucapkan kata-kata di atas (tanpa mengerti maksudnya) namun harus sadar, bahwa dengan pengucapan kata-kata tersebut memang berkeinginan untuk mewujudkan hubungan perkawinan yang khusus sesuai dengan pengertian nikah mutah. Diperkenankan mempergunakan kata-kata lain yang dapat mengungkapkan pengertian yang sama dengan kata-kata di atas dan bias dimengerti serta diterima oleh yang bersangkutan.
III. Ijab dan Qabul harus dengan bahasa arab bagi yang mampu mengucapkannya walaupun (kedua pihak) melalui sistem perwakilan. Bagi yang tidak mampu berbahasa arab, diperkenankan menggunakan bahasa lain dengan syarat pengertiannya sama dengan yang dimaksud dalam bahasa arabnya.

IV. Pengucapan Ijab dari pihak isteri dan Qabul dari pihak suami bisa dilakukan secara langsung oleh yang bersangkutan atau melalui perwakilan masing-masing.

V. Kalimat Ijab harus mendahului Qabul bila kalimat Qabul mempergunakan lafadz :
• Aku terima ( Qobiltu)

VI. Kalimat Ijab diperkenakan hanya dengan mempergunakan salah satu dari tiga macam lafadz:
• Aku mut’ahkan (Matta’tu)
• Aku nikahkan (Ankahtu)
• Aku kawinkan (Zawwajtu)
Nikah mut’ah menjadi tidak sah bila mempergunakan kalimat yang lain seperti:
• Aku milikkan (Malakktu)
• Aku berikan (Wahabtu)
• Aku sewakan (Ajjartu)
Adapun kalimat Qabul, maka cukup dengan mempergunakan kalimat apa saja yang sekiranya dapat menimbulkan pengertian rasa rela dengan Ijab yang diterimakannya, seperti:
• Aku terima Mut’ah…..(Qabiltu Mut’atah…)
• Aku terima kawin…..(Qabiltu Tazwij…..)
• Aku terima nikah……(Qabiltu Nikahah…..)
Dan pernikahan tetap sah seandainya diringkas saja dengan kalimat seperti:
• Aku terima (Qobiltu)
• Aku rela (Rodhitu)
Seandainya terbalik, suami yang mengucapkan Qabul terlebih dahulu dengan berkata:
“Aku mengawinimu dengan mas kawin sekian…..dan untuk jangka waktu sekian….”.
maka pernikahan tersebut tetap sah.
VII. Menyebutkan Mahar (mas kawin) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (suami-isteri) dan menentukan kadarnya, baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya dengan cara-cara yang dapat menghilangkan kesalah fahaman. Selain itu, mahar tersebut harus milik dari suami itu sendiri yang diperolehnya secara halal baik sedikit ataupun banyak bahkan meskipun berupa segenggam makanan.

VIII. Menyebutkan jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik lama maupun sebentar saja dan pula harus disepakati bentuk waktunya, seperti berapa hari, bulan atau tahun secara tegas dan jelas sehingga tidak bisa lebih atau kurang dari jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, dan pula harus ditentukan macam kalender yang diinginkan, apakah Masehi atauHijriyah.

IX. Antara suami isteri yang kawin mut’ah tidak boleh masih dalam ikatan muhrim, baik karena adanya nasab dan garis keturunan secara langsung ataupun tidak langsung, seperti Bibi baik dari pihak ibu ataupun bapak, atau karena ikatan mertua seperti ibu isteri, isteri bapak, isteri anak, atau anak tiri yang ibunya telah dikawininya dan disetubuhinya, atau wanita yang masih bersuami atau pula wanita yang sudah dicerai atau ditinggal mati suaminya namun belum habis masa iddahnya.

X. Wanita yang dikawini secara Mut’ah harus ber’iddah terhitung setelah habisnya masa perkawinan yang telah disepakati sebelumnya, atau bila seandainya suaminya telah menghibahkan masa mut’ahnya kepadanya sehingga tanpa perlu adanya perceraian karena si wanita akan langsung berpisah dari suaminya itu dan tidak boleh rujuk kembali, maka dalam hal ini ‘iddahnya adalah sebagai berikut:

a) Apabila si isteri sudah pernah disetubuhi, dan dia bukan anak kecil dan bukan pula wanita tua yang sudah tidak berhaid lagi, maka ‘iddahnya adalah dua kali haid (menstruasi) dengan catatan, bahwa haidnya berlaku secara teratur.
b) Apabila umurnya sudah mencapai masa haid (+ 9 – 10 th), namun belum juga berhaid, maka haidnya adalah 45 hari.
c) Apabila sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dipilih yang paling lama di antara dua hal:
• Melahirkan
• 4 bulan 10 hari.
Dalam hal ini, Nikah Mut’ah itu sama saja dengan yang berlaku pada nikah biasa. Nikah Mut’ah diperkenankan dengan wanita Ahli kitab. yaitu wanita Nasrani, dan Yahudi, namun tidak diperkenankan dengan wanita musyrik, dan yang telah murtad (keluar) dari Islam.
XI. Pada nikah mut’ah, tidak diperkenankan mengumpulkan (mengawini) dua wanita bersaudara sekaligus, sama seperti yang berlaku pada nikah biasa. Dan juga tidak diperkenankan menikahi seorang Bibi bersama-sama dengan keponakannya, baik dari pihak saudara laki-laki ataupun perempuan kecuali atas izin dan perkenaan dari si bibi tersebut.

XII. Dengan adanya akad nikah, si isteri sudah mempunyai hak pemilikan secara penuh atas mas kawin sehingga bila dia memintanya maka si suami harus segera memberikannya. Kedua belah pihak tidak saling mewarisi harta-benda masing-masing kecuali apabila keduanya sudah membuat persyaratan atau perjanjian sebelumnya pada saat pelaksanaan akad nikah, maka dalam hal ini keduanya mempunyai hak waris sesuai dengan isi persyaratan atau perjanjian yang telah disepakati tersebut.

XIII. Suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri kecuali bila si isteri telah mensyaratkan adanya nafkah pada saat pelaksanaan akad nikah dan disetujui, maka suami harus memberikan nafkah kepadanya dalam bentuk dan jumlah sesuai dengan isi persyaratan yang telah disetujuinya.

XIV. Pihak yang berhak memberikan akad nikah (isteri) harus sudah baliqh, berakal, mengerti maksudnya dan memang sengaja ingin mengadakan nikah Mut’ah, yakni ketika ia mengatakan kalimat : Matta’tu (Aku mut’ahkan) atau Ankahtu (Aku nikahkan) atau Zawwajtu (Aku kawinkan). Maka ia itu memang berkeinginan untuk mewujudkan nikah mutah yang dimaksud secara nyata dan bukan hanya merupakan ungkapan cerita yang bersifat fiktif (seperti dalam drama). Pihak yang menerima akad nikah (suami) juga harus sudah baliqh, berakal dan ketika mengucapkan kalimat : “Aku terima…’’ Maka, ia harus bersungguh-sungguh memang mau menerima apa yang diucapkan oleh si pemberi akad (isteri) dan berkeinginan untuk mewujudkannya secara nyata. Dalam hal ini, nikah mut’ah tidak berbeda dengan yang berlaku pada nikah biasa.

XV. Masing-masing dari suami isteri yang bersangkutan harus tertentu, dalam arti harus jelas dan tidak kabur dengan orang lain yang bukan pasangannya, baik nama, gelar maupun sifatnya.

XVI. Pelaksanaan Ijab dan Qabul harus berlangsung secara beruntun, dan tidak boleh terpisahkan pada saat pelaksanaan akad nikah dan harus terlaksana tanpa menunggu keberadaan suatu syarat atau terkait dengan datangnya waktu tertentu. Kemudian nikah mutah tersebut bisa terlaksana dengan adanya penyelesaian secara langsung oleh suami isteri yang bersangkutan, dan setelah kedua belah pihak bersepakat perihal penentuan waktu dan mas kawin maka si isteri harus berkata kepada suami (bisa memilih satu dari tiga kalimat berikut) :
Matta’tu nafsi minka = “Aku mut’ahkan diriku kepadamu” atau
Zawwajtu nafsi minka = “Aku kawinkan diriku kepadamu” atau
Ankahtu nafsi minka… ‘ala maharin qodruhu mi’ata dinar minal aan ila asro siniin =
“Aku nikahkan diriku untukmu dengan mas kawin sebesar seratus dinar (misalnya, bisa lebih atau kurang sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak) dari sekarang sampai sepuluh tahun (misalnya, bisa lebih atau kurang sesuai dengan persetujuan dari kedua belah pihak) kemudian suami menjawab (bisa memilih satu dari kalimat berikut ini) :
Qobiltu mut’atah…= Aku terima mut’ahnya…
Qobiltu tazwij….= Aku terima kawinnya….
Qobiltu nikah….linafsi minka ala mahril ma’lum wal ajalil maklum…=
“Aku terima nikahnya…darimu untuk diriku dengan mas kawin dan tempo waktu (sesuai kesepakatan bersama) yang telah dimaklumi”
Akad nikah mut’ah bisa dilaksanakan melalui wakil dari kedua mempelai, atau melalui wali dari masing-masing mempelai, atau pula melalui wakil dari mempelai wanita dengan calon suaminya dan sebaliknya. Pelaksanaan akad nikah melalui perwakilan atau perwalian tersebut tidak berbeda tata-caranya dengan yang dilaksanakan secara langsung oleh kedua mempelai sebagaimana telah disebutkan di atas.



Karya As-Sayid Amir Muhammad Al-Kadzimi Al-Quzwayni
Diterjemahkan dari buku “Al-Mut’ah Baina Al-Ibaahah wal Hurmah